Jumat, 25 September 2009

Polisi Jangan Beri Toleransi


Jumlah pemudik yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas pada masa mudik Lebaran terus meningkat. Selama 10 hari terakhir, 472 pemudik meninggal dunia. Jumlah itu sangat besar karena itu polisi diminta tak memberikan toleransi sedikit pun kepada pelanggar aturan.

Pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Hitapriya Suprayitno, dan sosiologi Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, Kamis (24/9), berpendapat, masyarakat dan negara harus menegakkan aturan dan disiplin berlalu lintas untuk mencegah korban terus bertambah. Jika membiarkan peraturan tidak ditegakkan, negara dapat disebut membiarkan rakyat tewas sia-sia di jalan.

Peneliti Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menyatakan, tingginya angka kecelakaan yang didominasi sepeda motor sudah seharusnya membuat pemerintah atau polisi bertindak tegas dengan melarang mudik sepeda motor, tidak lagi sekadar mengimbau.

”Mereka tidak mempan sekadar diimbau. Segera evaluasi arus mudik maupun balik dan harus sudah ditarget berapa banyak penurunan pemudik sepeda motor. Arahkan mereka ke angkutan massal, seperti kereta api, atau dengan mudik bersama,” kata Djoko.

Secara terpisah, Kepala Posko Lebaran Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri Ajun Komisaris Besar Susilo Wardono mengungkapkan, ada 1.238 kecelakaan dari H-7 hingga H+3 Lebaran. Akibatnya, 472 pemudik tewas. ”Kerugian sudah mencapai Rp 6,6 miliar. Kami sangat tidak berharap, tetapi ada kemungkinan jumlah ini terus bertambah sampai akhir arus balik,” ujarnya di Jakarta, Kamis.

Kecelakaan terbanyak terjadi di ruas Tuban-Lamongan dan Pasuruan-Situbondo, Jawa Timur. Jenis kendaraan yang paling banyak terlibat dalam kecelakaan adalah sepeda motor. ”Di sana jalan sudah lengang sehingga memungkinkan untuk menambah kecepatan. Padahal, amat mungkin pemudik sudah lelah saat memasuki wilayah Jawa Timur sehingga konsentrasi berkurang,” lanjut Susilo.

Kamis kemarin di Tuban kembali terjadi kecelakaan antara Suzuki Carry nomor polisi N 1882 AV dan bus Jaya Utama. Kecelakaan ini menyebabkan tujuh korban tewas seketika. Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 15.00 di Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar, Tuban, itu menimpa satu keluarga dari Malang. Kendaraan yang mereka tumpangi dikemudikan oleh Mashuri.

”Kami belum bisa memastikan penyebab kecelakaan,” tutur Ajun Komisaris Ahrie Shonta, Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Tuban.

Menanggapi tingginya kasus kecelakaan dengan jumlah korban amat besar itu, Hitapriya mengatakan, kecelakaan itu merupakan dampak pengabaian aturan dan disiplin. Atas nama toleransi, polisi justru kerap mengendurkan peraturan bagi pemudik. ”Seharusnya peraturan justru diketatkan pada musim mudik ini. Pengetatan akan memaksa pemudik disiplin berlalu lintas,” ujarnya.

Pengetatan aturan dipandang solusi paling mudah untuk situasi sekarang. Pasalnya, pemerintah berkali-kali menyatakan tidak mampu menambah infrastruktur. ”Undang-Undang Lalu Lintas jelas melarang sepeda motor mengangkut lebih dari dua orang. Faktanya, sepeda motor dinaiki lebih dari dua orang dan tidak ada sanksi,” tuturnya.

Sementara itu, Hotman Siahaan menyarankan agar dilihat faktor apa yang menjadi penyebab kecelakaan. Jika karena disiplin pemudik rendah, negara tidak bisa disalahkan. Namun, negara berperan dalam kesalahan itu bila tidak menegakkan peraturan. ”Namun, dalam masyarakat demokratis yang dewasa, seharusnya kedisiplinan timbul karena kesadaran, bukan karena paksaan negara,” ujarnya.

Tidak merata

Pendapat sedikit berbeda diungkapkan sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola. Menurut dia, paling sedikit ada tiga faktor utama yang membuat arus mudik setiap tahun selalu menimbulkan keruwetan dan biaya ekonomi serta korban jiwa tak sedikit.

Pertama, masih tingginya ketimpangan pembangunan antara kota-kota besar, terutama Jakarta, dan daerah di luarnya. Ketimpangan ini menyebabkan arus urbanisasi selalu terjadi. Penduduk makin terpusat di Jakarta sehingga tiap menjelang Lebaran terjadi arus mudik besar-besaran dari Jakarta ke daerah.

”Memang data Dinas Kependudukan DKI Jakarta menunjukkan, pada era pascareformasi, laju urbanisasi menurun seiring dengan dimulainya program desentralisasi, tetapi memang belum signifikan,” papar Tamrin.

Menurut dia, laju desentralisasi harus terus didorong sehingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebar merata di luar Jakarta. ”Pola urbanisasi prinsipnya ada gula ada semut, maka yang harus dilakukan menyebar gula-gula itu,” ujarnya.

Kekacauan penyelenggaraan arus mudik adalah akibat masih lemahnya penegakan aturan di lembaga-lembaga berkaitan dengan penggunaan jalan raya, seperti kelayakan kendaraan bermotor dan batas muatan maksimal. ”Mulai dari aturan pembuatan SIM hingga uji kelayakan kendaraan di DLLAJR dan lembaga serupa untuk transportasi laut dan udara (harus ditegakkan aturannya),” tutur Tamrin.

Faktor ketiga, pertumbuhan jumlah penduduk yang tak terkendali karena merosotnya pelaksanaan program keluarga berencana.

Berkaitan dengan puncak arus balik, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jawa Tengah M Chaeran mengingatkan, menjelang musim pancaroba ini sampai akhir September, jalur pantai utara Jawa Tengah berpotensi hujan pada malam hari. Pemudik, terutama pengguna sepeda motor, diimbau agar ekstra hati-hati dalam perjalanan arus balik. (TIM KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
Bookmark and Share

Arsip Blog