Senin, 19 Oktober 2009

Keuangan: Penguatan Rupiah Haruskah Dikhawatirkan?


KOMPAS.com-Banyak yang terperanjat melihat kurs rupiah menguat kencang terhadap dollar Amerika Serikat dalam dua minggu terakhir, dari Rp 9.615 (per akhir September) menjadi Rp 9.330 per dollar AS (per 16 Oktober). Sejak awal tahun, apresiasi rupiah telah mencapai 17 persen. Tiga persen terjadi dalam satu bulan terakhir.

Secara garis besar, penyebab penguatan rupiah dapat dikategorikan menjadi dua faktor, yakni eksternal dan internal. Faktor eksternal, penguatan rupiah karena pelemahan dollar AS secara umum. Saat ini dollar AS tidak diminati karena fundamental ekonomi AS sedang buruk.

Dari faktor internal, penguatan rupiah didorong oleh fundamental ekonomi Indonesia saat ini yang

”relatif” lebih baik dibandingkan dengan negara maju yang masih resesi.

Sejak awal Maret 2009, investasi dalam dollar AS mulai ditinggalkan investor akibat kondisi ekonomi AS yang buruk. Untuk stimulus ekonomi, defisit anggaran Pemerintah AS sudah mencapai 12 persen terhadap PDB (jauh di atas posisi aman, yakni 3 persen PDB). Rasio utang Pemerintah AS meningkat drastis ke 94 persen.

Agar ekonominya tumbuh, suku bunga bank sentral AS dipaksa tetap rendah, yaitu hanya 0,25 persen dan imbal hasil (yield) surat utang Pemerintah AS juga dipaksa relatif rendah, hanya 3,3 persen. Tetapi akibatnya, bagi investor tak menguntungkan memegang dollar AS.

Indonesia telah menunjukkan diri sebagai salah satu negara yang dapat bertahan dalam krisis ekonomi 2008. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan mencapai 4,3 persen dan tahun depan naik ke sekitar 5,5 persen.

Inflasi pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar 4 persen dan tahun depan sedikit meningkat ke 6 persen. Defisit anggaran pemerintah dikelola dengan hati-hati, yaitu 2,5 persen PDB di tahun ini, dan tahun depan diturunkan ke 1,6 persen PDB. Di sisi ekspor, meskipun kinerja menurun, tahun ini neraca berjalan diperkirakan masih surplus 1 persen PDB, dan tahun depan, walaupun impor meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, neraca berjalan diperkirakan masih tetap surplus 0,2 persen PDB.

Performa positif yang ditunjukkan Indonesia di tengah krisis menarik minat investor asing. Lembaga pemeringkat Moody’s telah menaikkan peringkat kredit Indonesia dari Ba3 ke Ba2.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika dana asing mengalir deras ke Indonesia dan diperkirakan masih akan berlanjut. Memang dana yang masuk kebanyakan bersifat jangka pendek (hot money), belum dalam bentuk penanaman modal asing langsung.

Investor asing membeli aset finansial seperti saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Posisi investor asing di SUN meningkat dari Rp 87,6 triliun (di akhir 2008) menjadi Rp 99,5 triliun di bulan Oktober. Jumlah SBI yang dibeli oleh asing sudah mencapai Rp 45 triliun.

Implikasi penguatan rupiah

Penguatan rupiah memiliki implikasi terhadap perekonomian. Sisi positif penguatan rupiah dapat dilihat melalui (1) berkurangnya tekanan inflasi, (2) potensi bisa tetap rendahnya suku bunga dalam negeri, dan (3) berkurangnya tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Adapun potensi implikasi negatif dari rupiah yang terlalu kuat adalah (1) potensi anjloknya daya saing ekspor, dan (2) risiko gejolak kurs jika terjadi pembalikan.

Apresiasi rupiah sebesar 10 persen diperkirakan akan mengurangi tekanan inflasi 0,8 persen. Karena lebih dari 60 persen impor Indonesia adalah bahan baku dan barang modal, maka penguatan rupiah akan membantu mengurangi biaya produksi.

Pengurangan tekanan inflasi akibat penguatan rupiah memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga rendah. Penguatan rupiah juga dapat membantu APBN melalui pengurangan tekanan pembayaran bunga utang luar negeri dan biaya impor bahan bakar minyak. Utang luar negeri pemerintah berjumlah 85 miliar dollar AS. Analisis sensitivitas menunjukkan setiap penguatan Rp 100 akan mengurangi beban defisit APBN sekitar Rp 0,4 triliun.

Beban sektor swasta juga terbantu karena utang luar negeri swasta sudah berjumlah sekitar 62 miliar dollar AS, dengan banyak perusahaan swasta tersebut tidak memiliki pendapatan dollar.

Bagi sektor perbankan, penguatan rupiah juga akan mengurangi potensi kredit bermasalah kredit valuta asing. Kredit valuta asing perbankan saat ini memang tidak besar, sekitar 18 persen dari total kredit perbankan, tetapi tetap perlu dimonitor risikonya.

Sebenarnya rupiah tidak dapat dikatakan overvalued karena mata uang banyak negara juga menguat terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah saat ini (di sekitar Rp 9.300-Rp 9.400) adalah sama dengan periode tahun 2007.

Meski demikian, potensi overvaluasi masih terbuka bagi rupiah. Dengan menggunakan metode real effective exchange rate (REER), rupiah telah bergeser dari kondisi undervalued sebesar 13,5 persen menjadi sedikit overvalued sebesar 3 persen, tetapi belum mencapai situasi yang mencemaskan.

Satu hal kita harus ingat bahwa daya saing jangka panjang Indonesia bukan ditentukan oleh kurs mata uang, tetapi oleh ketersediaan infrastruktur, ketahanan energi, ketahanan pangan, dan kualitas sumber daya manusia.

Apresiasi rupiah dapat dimanfaatkan untuk mengimpor lebih banyak barang modal untuk kebutuhan investasi. Perbaikan infrastruktur dan sektor manufaktur memerlukan alat berat dan mesin yang notabene masih banyak diimpor.

Sektor manufaktur harus dibenahi. Produk pertanian harus diolah di dalam negeri agar nilai tambahnya berguna bagi masyarakat Indonesia. Perbaikan kualitas infrastruktur dan transportasi akan meningkatkan kelancaran jalur distribusi yang selanjutnya akan membuat harga produk Indonesia menjadi lebih kompetitif.

Yang harus diwaspadai adalah risiko pembalikan arah. Untuk itu, jumlah dana investor asing di SBI saat ini sekitar Rp 45 triliun adalah potensi risiko negatif yang akan selalu kita hadapi seperti yang dialami tahun 2005 dan 2008. Semoga BI mempunyai keberanian mengatur investasi asing di SBI. Oleh MIRZA ADITYASWARA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
Bookmark and Share

Arsip Blog