Selasa, 20 Oktober 2009

KORUPSI: "Pengelolaan Yayasan Tenaga Kerja Ilegal"


VIVAnews - Audit Inspektur Jenderal Departemen Tenaga Kerja menilai pengelolaan aset Yayasan dana tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas oleh tim bentukan Menteri Jacob Nuwawea ilegal. Penilaian hal tersebut berdasarkan surat keputusan bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri ESDM.

"Seharusnya aset disetorkan ke negara setelah yayasan dibubarkan," kata Tarya Rahmat, auditor Irjen, saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa 20 Oktober 2009.

Tarya bersaksi dalam kasus dugaan dugaan korupsi kekayaan hasil likuidasi Yayasan dana tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas. Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja Muzni Tambusai.

Kasus berawal dari likuidasi dana yayasan pada tahun 2000. Aset senilai Rp 134,4 miliar dan US$ 250 ribu itu tidak seluruhnya
diserahkan kepada negara. Tambusai selaku pengelola aset diduga telah merugikan negara hingga Rp 11,3 miliar pada periode 2003-2008.

Ia mengatakan hasil temuan sementara menunjukkan ada selisih senilai Rp 4,9 miliar dalam pengelolaan aset itu. "Yang kemudian diadendumkan satu tahun kemudian," kata Tarya.
Namun menurut dia, data itu belum pasti karena, "Waktu audit dokumen yang lainnya masih ada di akuntan publik, sehingga kami meminta waktu untuk mendalami masalah tersebut," kata Tarya. Ia mengaku mengaudit pada tahun 2006.

Saat ini, lanjut dia, belum terdapat bukti aset diserahkan ke negara. "Ada di tim pengelola aset," kata dia. Adapun tim tersebut merupakan bentukan Menteri Jacob Nuwawea.

Sementara itu penasihat hukum terdakwa Maqdir Ismail mempertanyakan kewajiban yayasan terhadap 138 ribu pekerja pemborong yang belum mencairkan klaimnya. "Yayasan masih memiliki tanggung jawab untuk membayar kewajiban tersebut," kata dia.

Maqdir mengatakan hal ini sudah disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. "Pembayaran tidak bisa ditolak dan harus
dikonsultasikan," kata dia mengulang dokumen Dirjen Perbendaharaan.

Tapi hal ini dibantah oleh Jaksa Penuntut Umum Suwarji. Melalui pernyataan Tarya, Jaksa menegaskan, "Kewajiban klaim ada tapi dana harus disetorkan kepada negara," kata Tarya. Pembayaran klaim itu, menurut Tarya, melalui mekanisme tertentu.

Jaksa menuduh uang itu digunakan untuk pembayaran honor kepada tim likuidasi senilai Rp 2,5 miliar sehingga berjumlah Rp 6,4 miliar. Uang itu juga dibagi-bagikan sebagai pemberian hibah Imelda Rp 30 miliar. Operasional sebesar Rp 1,5 miliar, dana perjalanan Rp 1,3 miliar, pembelian dua buah mobil, alat elektronik dan furniture sebesar Rp 559 juta. Serta membayar klaim pesangon senilai Rp 1,37 miliar.

Adapun Jaksa juga menuduh Muzni tidak menyetorkan penerimaan deposito sebesar Rp 48, 5 miliar dan US$ 787 ribu serta tidak menyetorkan Pajak Penghasilan sebesar Rp 96,6  juta.

Selain memperkaya diri, Jaksa juga menuduh Tambusai telah menerima hadiah dalam pengelolaan aset itu. Menurut Jaksa Kadek, Muzni menerima hadiah senilai Rp 1,5 miliar dari Pembina Yayasan Imelda Medan dan travel cheque Rp 885 juta dari Felix Duwit Direktur RSUD Sele Be Solu Kota Sorong serta Travel cheque senilai Rp 1 miliar dari Lukman Pimpinan Proyek Pembangunan Rumah Sakit Pekerja Petala Bumi Pekan Baru.
• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
Bookmark and Share

Arsip Blog