Senin, 09 November 2009

KPK: Ini Dia Jaringan Kuasa Anggodo




VIVAnews – Wajahnya kusut. Matanya terlihat kurang tidur. Kumis dan janggutnya lama tak kena pisau cukur. Rambutnya awut-awutan. Berjas hitam dipadu kemeja biru dongker, Anggodo Widjojo duduk berkukuh di ruang tunggu lantai dua Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis 5 November 2009.
 
Di ruang rapat utama lantai satu, Adnan Buyung Nastion, gusar alang kepalang.  Ketua Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M. Hamzah berulang kali memanggil pria itu.


Tim ini dibentuk Presiden SBY—di tengah kerasnya tekanan publik—untuk menelusuri dugaan kuat adanya rekayasa untuk mengkriminalisasi dua pimpinan KPK nonaktif itu, Bibit dan Chandra. Mereka dikenal juga dengan sebutan Tim Delapan sebab anggotanya berjumlah delapan orang.

Yang ditunggu tak kunjung turun, Buyung berteriak, “Terlalu lama, memang Anggodo ini orang yang luar biasa kuatnya!” 
  
Anggodo—aktor utama dalam skandal rekaman KPK yang menggegerkan Republik—baru turun dari lantai dua pada pukul 14.25. Itu berarti sudah setengah jam Tim Delapan menunggunya.  

Dicecar Tim Delapan, dia lihai menjawab. "Dengan keadaan yang sekarang ini, mungkin teman-teman juga takut. Kalau boleh, jika diizinkan, malam ini saya mohon bisa tidur di sini," kata Anggodo. Dia bahkan mengatakan akan bersikap kooperatif, “Saya siap. Tidak hanya empat belas hari (masa kerja Tim Delapan), tapi sampai masalah ini tuntas.” 
 
***
 
Anggodo adalah adik kandung Anggoro Widjojo, bos PT Masaro Radiokom yang menjadi buronan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara penyuapan dalam proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu di Departemen Kehutanan. 

Ang Tju Nek adalah nama aslinya. Kakaknya, Anggoro, bernama Ang Tju Hong. Di kalangan pengusaha di Surabaya, Jawa Timur, mereka lebih dikenal dengan nama Tionghoa itu. Lahir dan besar di Surabaya, lidah mereka kental dengan dialek Suroboyoan.

Ayah mereka, Ang Gai Hwa, seorang China “asli” yang datang dari Negeri Tirai Bambu. Di Surabaya ia dikenal supel dan suka bergaul. Sejak 1970, dia membuka usaha dinamo di rumahnya di daerah Kalimati, Surabaya. 
 
Usaha Gai Hwa kemudian diteruskan putra-putranya. Mereka merambah ke bisnis judi. Sejumlah media melaporkan Anggoro dan Anggodo pernah menjadi pengelola SDSB dan Porkas--judi yang dilegalkan pemerintah di era 1980-an. Bisnis mereka melambung setelah bersahabat dengan Rudy Sumampow, tauke top di Surabaya yang akrab disapa Roby Ketek.

Peredaran SDSB saat itu di seluruh wilayah Jawa Timur, praktis mereka kuasai. Inilah titik awal kakak-adik Widjojo menjalin hubungan dengan aparat penegak hukum di Surabaya.

Belakangan mereka melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta, membeli kompleks perkantoran dan hiburan Studio East di Simpang Dukuh. 
 
Memasuki 1990, usaha mereka tak lagi terdengar. SDSB secara resmi ditutup pemerintah. Baru di awal 2000 Anggoro melejit lagi lewat PT Masaro Radiokom. Perusahaan ini merupakan agen pemasaran Motorola. Sementara itu, Anggodo mengelola usaha parkit (lantai kayu) dan rumah kuno di Driyorejo, Gresik. Sesekali mereka terlihat di Surabaya.
 
Bisnis Anggoro terganjal masalah hukum pada 2008. KPK menemukan bukti boss Masaro ini telah menyuap Yusuf Emir Faisal, anggota DPR Komisi VI DPRI waktu itu, untuk memuluskan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. KPK kemudian menetapkannya sebagai tersangka dan mencegahnya bepergian ke luar negeri. Tapi, Anggoro telanjur kabur ke Singapura. 
 
Di Jakarta, Anggodo sang adik lah yang pergi ke sana kemari berupaya membebaskan kakaknya. Sebagaimana telah terungkap secara telanjang dalam rekaman penyadapan KPK, dia menggelontorkan uang banyak melalui seorang perantara, Ari Muladi, untuk menyuap pimpinan KPK—yang menurut fakta-fakta yang kini terungkap tak pernah sampai ke Bibit dan Chandra sebagaimana dituduhkan polisi berdasarkan kesaksian Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang dipecat setelah menjadi terdakwa kasus pembunuhan Nasrudin. 
 
***
 
Tadi Pak Ritonga (Wakil Jaksa Agung, red.) telepon, besok dia pijet di Depok, ketawa-ketawa dia, pokoknya harus ngomong apa adanya semua, ngarti? Kalau gak gitu, kita yang mati, soalnya sekarang dapat dukungan dari SBY, ngerti gak?"  
 
Lalu dia bicara lagi, "Kita semua, Pak Ritonga, pokoknya didukung , jadi KPK nanti ditutup, ngerti ga?"
 
Suara wanita itu terdengar nyaring dan jernih lewat pemutar CD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Selasa, 3 November 2009. Senyaring dan sejernih itu pulalah rekaman itu diperdengarkan untuk khalayak luas atas perintah Majelis Hakim MK yang diketuai Profesor Mahfud MD.   
 
Dari corong pengeras suara, seorang staf KPK menyebutkan suara itu milik Anggodo dan seorang wanita bernama Ong Yuliana Gunawan. Penelusuran wartawan VIVAnews danSurabaya Post, menemukan nama perempuan itu tercantum dalam data Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya karena tersangkut kasus narkoba. 

Kepala Unit Narkoba  Ajun Komisaris Polisi Effendi mengatakan Yuliana sempat menjadi tahanannya. Polisi menangkap Yuliana di apartemennya di Surabaya pada 18 Januari 2007. Selama dalam masa tahanan, salah satu pembesuknya tak lain adalah Anggodo. “Saat itu Anggodo mengaku teman akrab Yuliana,” kata seorang penyidik di sana.  Menurut catatan polisi, Yuliana sudah dua kali tersangkut narkoba. Sebelumnya terjadi pada 2006. 
 
*** 
 
Tak sekadar soal urusan pijat-memijat, rekaman itu membuka sebuah fakta seterang matahari di siang bolong: Anggodo terlibat dalam percakapan dengan sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI, termasuk penyidik, untuk mengatur ke mana alur perkara Bibit-Chandra harus diarahkan. Ini juga menunjukkan betapa jaring kuasa makelar kasus seperti Anggodo menjulur ke mana-mana di tubuh lembaga penegak hukum kita.
 
Salah satu pemilik suara yang masuk dalam sadapan adalah Wisnu Subroto, mantan Jaksa Agung Muda (JAM) Intelijen Kejaksaan Agung RI yang juga sempat tersandung perkara suap Artalyta Suryani beberapa waktu lalu. Baru pensiun Mei 2009 lalu, Wisnu sudah 35 tahun malang-melintang di Korps Adhyaksa dan pernah bertugas di Surabaya pada tahun 1980-an. 
 
Kepada Arry Anggada dari VIVAnews, Wisnu tanpa tedeng aling-aling mengakui hubungan intimnya dengan Anggodo. Berikut jawaban dia ketika ditanya seberapa dekat ia dengan Anggodo. “Dekat sekali. Pak Anggodo juga sering main ke kantor saya di Kejaksaan Agung. Saya kenal dia karena pernah beli cincin dari Pak Anggodo. Tidak cuma saya, Pak Anggodo juga kenal dengan jaksa lainnya. Kita juga sering makan bareng,” kata Wisnu, tanpa beban.
 
Nama lain yang muncul adalah Wakil Jaksa Agung AH Ritonga.
 
“Semua orang kenal Anggodo,” kata Ritonga sembari membantah ia terlibat dalam upaya merekayasa perkara Bibit-Chandra. “Saya hanya melakukan penanganan perkara,” katanya.
 
Selain itu juga ada, nah ini dia, Kepala Bareskrim Polri dan pencipta istilah “cicak vs. buaya” yang kini amat terkenal itu, Komisaris Jenderal Susno Duadji. 
 
Dalam rekaman, nama Susno dan Truno-3 (istilah yang lazim digunakan di kalangan kepolisian untuk menyebut Kepala Bareskrim) disebut Anggodo berkali-kali. Dalam sebuah wawancara dengan Metro TV, Ari Muladi mengkonfirmasikan adanya tali hubungan antara Anggodo dengan Susno Duadji dalam perkara ini. Ari mengaku pernah bersama Anggodo bertemu Jenderal Susno di kantornya di Mabes Polri untuk menjelaskan kesaksiannya dalam perkara Bibit-Chandra. 
 
Apa jawaban Susno? “Dia bilang ‘bagus ... bagus’,” Ari menirukan.

Di DPR, Susno mati-matian membantah. Jenderal berbintang tiga ini menyatakan tak pernah sekalipun berhubungan telepon dengan Anggodo. “Kenapa yang ditampilkan (diributkan) adalah nama yang disebut-sebut dalam rekaman, dan bukannya nama orang yang berhubungan (langsung via telpon)," katanya.


Dia juga berdalih istilah ‘Truno 3' dalam rekaman itu bukan namanya, tapi alamat kantor polisi. "Tapi direka-reka dalam berita bahwa itu adalah (sandi) untuk Susno Duadji. Rupanya tidak enak kalau tidak menyebut Susno Duadji," katanya. 
 
***
 
Mendengar rekaman itu, hampir semua orang terenyak. Dugaan adanya rekayasa dalam kasus Bibit dan Chandra semakin kuat. Kecaman pun berhamburan ke arah kepolisian dan kejaksaan. "Saya tidak habis pikir kenapa pejabat Kejaksaan dan Polri kita mau diatur oleh cukong-cukong menjijikkan itu," kata Ketua MK Mahfud MD dengan geram.
 
Publik juga marah. Aksi unjuk rasa bermunculan di seantero negeri, termasuk di dunia maya. Hari itu juga, Tim Delapan mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri menonaktifkan Susno Duadji dan menuntut Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk memberhentikan sementara Ritonga.


Buyung juga minta polisi segera menahan Anggodo yang telah telanjang bulat mengaku mengucurkan sekian miliar rupiah untuk diberikan kepada pimpinan KPK—sebuah tuntutan yang, aneh bin ajaib, tak juga dipenuhi Kepolisian RI hingga tulisan ini diturunkan.
  
Toh, Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri terus berkukuh menyatakan bawahannya sesuci orok merah.  “Kami tidak merekayasa kasus itu, semuanya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” katanya di hadapan Komisi Hukum DPR pada Rabu malam kemarin.


Menjawab berbagai kecaman yang ditujukan ke arahnya, ia menjawab, “Kami tidak sehina itu, kami bukan binatang, atau yang mau diatur-atur oleh cukong,” ia melanjutkan. “Silakan telanjangi kami. Kami terusik, apakah segoblok itu Polri?" 

(Laporan dari Surabaya: Tudji Martudji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails
Bookmark and Share

Arsip Blog