KOMPAS.com - Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif benar saat mengatakan, ”Memang ada banyak aparat hukum dan orang-orang ’busuk’ di negeri ini. Tetapi, aparat dan orang baik juga masih banyak.”
Apa yang dikatakan Syafii itu adalah pegangan untuk tetap optimistis dan terus memegang asa yang tidak lagi mudah dilakukan. Apalagi setelah beberapa hari terakhir, telinga kita disesaki dengan suara rekaman telepon Anggodo Widjojo, adik tersangka dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, dengan banyak orang penting untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya.
Anggodo mengaku sebagai rakyat biasa di depan Ketua Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Tim Delapan) Adnan Buyung Nasution yang memanggilnya. Anggodo meminta jaminan keselamatan jiwa. Polisi bersedia menjamin keselamatan jiwa Anggodo.
”Jangankan Anggodo, seluruh rakyat Indonesia jika minta perlindungan, pasti kami beri. Itu tugas kami, melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat,” ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Irjen Nanan Soekarna di Mabes Polri, Jakarta, pekan lalu.
Melegakan mendengar pernyataan ini. Polisi di atas kertas seperti diperintahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri memang memegang fungsi itu. Namun, fungsi kepolisian tidak hanya itu. Ada fungsi kepolisian lain, penegakan hukum.
Dada terasa sesak lantaran hukum tak hanya tidak ditegakkan, tetapi juga dipermainkan dan diperdagangkan. Jumlah uang disebutkan Anggodo yang mengaku sebagai penyandang dana. Petinggi Polri dan kejaksaan sudah dipegangnya. Sebagai rakyat biasa, Anggodo memiliki jaringan begitu luas dan tinggi.
Perkembangan terakhir dari diperdengarkannya pembicaraan telepon pada rakyat adalah permintaan mundur dari petinggi Polri dan Kejaksaan Agung pada atasannya. Mereka adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga.
Persekongkolan jahat yang terkuak secara telanjang membuat rakyat marah. Seandainya Anggodo adalah pejabat publik, dia pasti juga akan mundur untuk meredam amarah rakyat. Sayangnya, Anggodo rakyat biasa yang bisa menelepon siapa saja untuk menghadirkan keadilan sesuai versinya.
Pernyataan ”ada banyak aparat hukum dan orang-orang ’busuk’ di negeri ini, tetapi aparat dan orang baik juga masih banyak” membuat rasa takut akan masa depan Indonesia berkurang. Persoalannya, aparat dan orang baik yang jumlahnya juga banyak itu tidak banyak diberikan peran dalam kehidupan.
Polisi Wibawa, misalnya, hanya dijadikan patung yang oleh polisi sendiri tidak lagi dikenali makna di baliknya. ”Saya tidak tahu maksudnya apa dan kapan ada. Mungkin menakut-nakuti masyarakat seperti ketika saya SMA takut kalau melihat sosok polisi meski hanya patung,” ujar seorang polisi berpangkat brigadir di perempatan Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta, tempat patung Wibawa itu.
Sementara patung polisi bernama Wibawa yang tidak buncit perutnya siaga, sejumlah polisi berkumpul setelah sepanjang hari melakukan operasi penegakan hukum kepada pengendara sepeda motor.
Di Yogyakarta, tinggal satu patung Polisi Wibawa yang terletak di jalan utama. Semoga ini tidak menjadi tanda bangkrutnya wibawa polisi. (inu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar